Pengharapan Iman Akan Masa Depan

Oleh Charles Stanley

Dalam I Korintus 13:13 Paulus menyebutkan tiga hal penting yang berkaitan dengan keseimbangan dan pertumbuhan iman dalam kehidupan seorang Kristen, yakni: Iman, Pengharapan, dan Kasih. Saat ini kita, sebagai umat Allah, memiliki pemahaman umum bahwa dari ketiga hal tersebut, yang paling penting adalah aspek iman dan kasih. Namun tidak memberikan concern yang sama terhadap aspek Pengharapan. Karenanya, kita seringkali hanya kritis terhadap hal-hal yang berkaitan dengan masa lalu, dimana kita menjadi pengikut Kristus secara tradisi, suatu komunitas yang mensosialisasikan nilai-nilai dan moralitan lama di era abad 20-an.

Namun bagaimanapun sekarang ini, banyak orang Kristen yang mulai mengklaim identitas mereka sebagai orang yang berpengharapan. Mereka memiliki kembali pemahaman akan penantian terhadap kerajaan Allah di masa datang sebagai bagian yang vital dari kehidupan dan pengalaman kekristenan mereka.

Pengharapan adalah hal yang mendasar untuk memahami bukan saja bagaimana kita, tetapi juga siapa Allah itu dan bagaimana Ia menyatakan kerajaan-Nya di dunia ini. Seorang teolog Jerman Wolfhart Pannenburg pernah membuat sebuah pernyataan yang ganjil bahwa “Allah itu tidak nyata”. Maksudnya sederhana saja, yaitu pemahaman kita terhadap karakter dan tujuan Allah bagi manusia dibatasi oleh perhatian kita pada masa kini saja. Seolah-olah kita tidak pantas memiliki hubungan dengan Dia dan memberi tempat bagi pengharapan di masa datang yang penuh kebahagiaan bersama Allah.

Hingga Dia Datang

Gambaran yang jelas mengenai hal ini, dapat kita lihat pada konteks Perjamuan Allah (Perjamuan Kudus), tradisi yang dilakukan sebagian besar orang Kristen. Umumnya kita mengenal Perjamuan Kudus sebagai kegiatan seremonial untuk mengenang kematian Kristus seperti yang dikatakan oleh Paulus, “Sebab setiap kali kamu makan roti ini dan minum cawan ini, kamu memberitakan kematian Tuhan sampai Ia datang.” (I Korintus 11:26)


Alkitab memberikan pandangan-pandangan yang baru tentang kehidupan manusia, suatu pandangan atau visi yang menjadi pengharapan kita.


Kita bisa saja mengubah atau memperbaharui kebiasaan seremonial Perjamuan tersebut dengan lebih mengutamakan dimensi masa depannya, yakni penekanan pada frasa (phrase), “sampai Ia datang”. Ketika kita melakukan hal tersebut, kita bukan hanya melihat ke masa lalu, yakni mengenang kematian Kristus. Kita juga sedang menatap masa depan, yakni masa di mana Dia akan datang yang kedua kalinya. Dalam pemahaman ini, roti dan anggur merupakan foretaste dari perjamuan mesianis yang besar yang kita ingin nikmati di dalam keraaan Allah; suatu pesta yang disebut di Alkitab sebagai “perkawinan anak domba” (Wahyu 19:9). Yesus menantikan pesta yang menakjubkan ini saat Dia mengatakan, “Mulai dari sekarang Aku tidak akan minum lagi hasil pokok anggur ini sampai pada hari aku meminumnya, yaitu yang baru, bersama-sama dengan kamu dalam kerajaan Bapaku.”

Perjamuan Allah sebagai Pesta Pengharapan memberikan kesan bahwa introspeksi yang memberatkan yang seringkali mendominasi “pesta” tersebut harus digantikan dengan kesukacitaan, hasrat dan harapan di mana suatu saat kita akan duduk dan makan bersama Tuhan Allah. Dengan demikian komuni atau perjamuan bukan saja memanggil kita untuk mengingat masa lalu, akan tetapi memanggil kita untuk mengingat masa depan yang kita miliki bersama Kristus.

Buku Masa Depan

Menyatakan pengharapan sebagai tema sentral dalam kehidupan Kristen dapat juga menolong kita untuk terus menggumuli dalam memahami Injil sebagai sumber yang memadai. Karena Alkitab dicatat ribuan tahun yang lalu, pengharapan yang tinggi terhadap kekristenan bisa saja terjadi atau sebaliknya, yakni Alkitab dianggap tidak relevan dengan kebudayaan modern sekarang. Mengucapkan kalimat “Bahwa kita melakukan hal-hal berdasarkan firman Tuhan” tidak akan berhasil di era masa kini ketika orang menginginkan kemajuan, inovasi, sesuatu yang baru, dan penemuan-penemuan – jadi bukannya hal-hal kuno yang tidak terpakai lagi.

Akan tetapi kita harus mempertanyakan asumsi yang menganggap Alkitab adalah buku sejarah kuno. Memang benar bahwa Alkitab merupakan literatur kuno, yang ditulis ribuan tahun silam. Namun yang penting bagi kita adalah bahwa Alkitab merupakan buku yang berbicara tentang masa depan. Alkitab tidak pernah memanggil kita untuk masuk dalam kehidupan abad pertama. Malahan, Alkitab memberikan pandangan-pandangan yang baru tentang kehidupan manusia, suatu pandangan atau visi yang menjadi pengharapan kita. Demikian pula Alkitab juga tidak mengarahkan kita kepada kehidupan di masa lampau, melainkan tertuju pada masa depan, yang menunjukan kepada kita jalan hidup yang dapat ditempuh di dalam kerajaan-Nya. Relevansi Alkitab di sini adalah proklamasi atau pernyataan bahwa Kerajaan Allah datang ke dalam dunia dalam bentuk keadilan dan sukacita (ia membongkar perkara-perkara yang membuat kita membenci dan membunuh), serta menciptakan masyarakat yang penuh kedamaian. Otoritas Firman Allah dinyatakan melalui kemampuan-Nya memanggil kita kepada masa depan melalui pembongkaran keberdosaan kita, yang kemudian menanamkan visi bahwa kita akan sama seperti Kristus. Melalui Alkitab kita belajar untuk “menantikan langit yang baru dan bumi yang baru, di mana terdapat kebenaran” (2 Petrus 3:13).


Read more: Pengharapan Iman Akan Masa Depan (Part 2-end)


Pengharapan Iman Akan Masa Depan oleh Charles Stanley
dalam Majalah Samaritan Edisi 1 Tahun 2000