Ada dua kriteria seseorang disebut profesional. Pertama, dari segi kualitas kerja, dan yang kedua, dikaitkan dengan perilaku. Soal kualitas kerja menyangkut hasil pekerjaan kita yang dihargai oleh pemakai. Kalau dokter, ya bagaimana pekerjaannya bisa menyembuhkan pasien, hasil pemeriksaannya manjur. Kalau guru, bagaimana hasil pengajarannya membuat murid-murid menjadi pintar dan bergairah belajar. Itulah profesionalisme. Intinya, hasil pekerjaan kita memuaskan pelanggan.
Lalu soal perilaku atau sikap, pertama-tama menyengkut etika. Etika adalah hal yang berkaitan dengan karakter, nilai-nilai moral dan prinsip-prinsip kehidupan. Yang kedua, yakni etiket. Etiket berhubungan dengan sopan santun, keramahtamahan, penampilah, tata-cara.
Bila hasil atau kualitas kerja seseorang itu baik dan memuaskan, tapi dari segi etika kurang, ia masih bisa disebut profesional. Ambil contoh John McEnroe. Dia kan petenis hebat? Cuma perilakunya urakan. Samapi taraf-taraf tertentu masih dimaafkan orang. Tapi kalau keterlaluan dia dicerca orang, dan ini bisa “merusak” hasil kerjanya. Sebaliknya, kalau nilai-nilai moral dan etika seseorang itu baik, tapi hasilnya kurang, misalnya orang itu jujur, baik, tapi tidak berprestasi, ya, tidak dianggap oleh orang. Untuk memperoleh kedua karakteristik tersebut sehingga disebut profesional secara utuh, sekarang ini sangat sulit. Tapi dari dua hal itu, yang paling dipentingkan adalah kinerja kerja.
Menurut saya kriteria seorang dokter yang profesional ya, bila memiliki kedua karakteristik tadi. Sebagai dokter dia kalau mendiagnosa betul, terapinya efektif, dan akhirnya membawa kesembuhan.
Bila ada pengamatan dan pengalaman masyarakat, dan katanya sudah menjadi rahasia umum bahwa dokter lemah dari segi etika, menurut saya dokter itu sudah mengkhianati jiwa profesionalisme. Profesi seperti dokter merupakan salah satu profesi terpenting yang sangat sarat dengan nilai-nilai moral dan nilai-nilai kemanusiaan. Dia dihargai masyarakat karena menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan itu, yakni keselamatan, kesembuhan.
Historis profesi dokter itu mulia, mengutamakan kepentingan pasien. Kalau dokter bertindak supaya pasien berulang-ulang datang, itu tidak profesional. Kalau ada motivasi supaya balik modal karena biaya kuliah di kedokteran itu mahal, itu juga salah. Kalau orang itu profesional dan hasil kerjanya bagus, dengan sendirinya orang akan mencari dia, dan dia menjadi dokter yang laris. Saya kira itu bukan hanya akan balik modal, tetapi juga akan mendapat keuntungan berlipat ganda. Kalau sudah berbicara ini kan tidak ada batasnya. Kasus dokter yang materialistis ini (menyuruh pasien datang berulang-ulang) bukan saja tidak profesional, tetapi juga merupakan kejahatan terselubung.
Saya tidak tahu sejauh mana kasus-kasus dokter seperti itu sudah terjadi di Jakarta. Kalau dokter yang berhubungan dengan saya tidak ada yang berkasus seperti itu. Saya selalu bertemu dokter yang selalu melayani saya dengan bagus.
Untuk menjawab pertanyaan, bagaimana supaya para dokter bersikap dan berjiwa profesional, kembali dulu pada pertanyaan apakah menjadi ini menjadi cita-cita mereka atau tidak? Saya ragu apakah mereka ini masih punya keinginan menjadi dokter yang profesional? Tetapi kalaupun mereka ingin menjadi profesional, ya milikilah kedua hal itu. Yang terutama adalah memperhatikan masalah etika dan moral. Moralitas itu kan sesuatu yang internal di dalam diri kita? Dan kalau itu berhasil dilakukan akan timbul motivasi. Dan motivasi yang kuat untuk melayani itu bisa membuat seseorang mengembangkan keahlian, memberikan yang terbaik.
Ada 8 ciri mental yang profesional. Kalau yang 8 ini dimiliki, keahliannya akan menjadi tinggi. Karena mental profesional ini jadi semacam energi diri yang luar biasa, yang akan memampukan dia mengembangkan dirinya, pengetahuan, dan keterampilannya. Semua ini lagi-lagi bermuara pada keterpanggilan. Keterpanggilan ini dihayati sebagai bentuk pelayanan kepada Tuhan di bidang itu, yakni menolong sesama. Kalau panggilan ini kuat, mestinya para dokter ini tidak terjebak pada godaan materialisme. Tapi jika sejak awal masuk FK supaya kaya, ya bisa jadi materialistis itu terjadi. Teori saya mengatakan, orang yang memiliki profesionalisme yang tinggi, kekayaan menjadi hal yang sekunder. Ibaratnya dia menjadi buah, sedangkan mental profesional yang delapan itu sebagai akarnya. Kalau akarnya bagus, pada waktunya buahnya akan muncul. Paradigma seperti ini terdapat dalam Mazmur 1.
Delapan ciri mental profesional: Pertama, Mentalitas Berkelimpahan. Jiwanya murah hati, ingin memberi dan menolong. Kedua, Mentalitas Kemandirian. Kemampuan untuk menjadi otonom, mandiri, berdikari, bersandar pada kemampuan yang diberikan Tuhan kepadanya. Tidak bergantung pada orang lain. Ketiga, Mentalitas Kejujuran. Jujur dengan data, informasi, uang, kesehatan pasien. Dan ini adalah intisari dari keilmuan Keempat, Mentalitas Keperwiraan. Artinya keberanian, berani mengambil resiko, keinginan untuk maju, tertantang untuk excellent, ada keinginan yang kuat dalam dirinya untuk maju terus, maju terus. Untuk mencapai level yang lebih tinggu kan membutuhkan keberanian. Bukan biasa-biasa saja, sama dengan yang lain supaya aman.
Selanjutnya, kelima, Mentalitas Seni. Penghayatan pekerjaan sebagai seni. Profesi apapun termasuk kedokteran, selain bersifat ilmiah, juga punya seni. Seni berarti orang yang sudah sampai pada penghayatan yang mendalam, memahami profesinya sampai ke tingkat filosofis/fundamental. Dan kalau orang sudah menghayatinya sampai ke tingkat seni, dia akan melihatnya sebagai keindahan. Dari situ akan muncul kesukaan dan kegembiraan, sukacita. Hidupnya menjadi dinamis. Dan kalau mentalitas ini berkembang dia akan menjadi lebih pintar, lebih arif dan profesional. Keenam, Mentalitas Pengabdian. Dia melihat bahwa di balik pekerjaannya ada tujuan yang lebih besar. MIsalnya, kemanusiaan, kesembuhan. Orang kalau bisa sampai pada tingkat pengabdian itu dia tidak hanya mencari keuntungan diri sendiri. Egoisme itu pada dasarnya, tidak mampu melampaui kepentingan dirinya sendiri. Orang yang berhasil melampaui, dia akan melayani kepada sesuatu di luar dirinya, baik itu keluarganya, negaranya, Tuhannya. Itulah pengabdian. Ketujuh, Mentalitas Pelayanan. Ini sejalan dengan mentalitas kesempurnaan. Tujuan pelayanan kan membuat orang lain puas? Makin tinggi tuntutan yang kita layani, makin tinggi prestasi yang harus kita tampilkan. Kalau pasiennya masyarakat petani, seadanya saja mereka sudah gembira. Tapi kalo orang itu berpendidikan tinggi, tuntutannya kan macam-macam? Jiwa pelayanannya kan harus makin tinggi?
Yang paling akhir, kedelapan, Mentalitas Kehormatan. Yakni masalah harga diri. Setiap profesi memiliki kehormatan. Itu ditentukan oleh nilai-nilai moral. Orang yang memiliki kehormatan yang tinggi tidak akan berbuat yang akan merendahkan dirinya, yang tercela.
Penghayatan internal seperti ini kalau dimiliki, itulah yang akan mengembangkan dirinya secara inner. Inner adalah yang utama dan primer, dan kalau orang sudah memiliki inner, maka akan menghasilkan outer yang bagus. Yang sering menjadi masalah, innernya ini tidak rapi, tidak komplit. Ibarat “kue” profesional, ada yang terpotong. Misalnya orang itu terampil, tetapi perilakunya nyebelin. Apa yang saya gagas ini adalah mental profesional yang utuh. Dan kalau orang memiliki semua ini, bukan main berharganya orang ini.
Lembaga-lembaga SDM yang ada sekarang ini men-drill macam-macam unsur mana, ada yang inner, ada yang outer. Untuk menghasilkan seseorang yang profesional, bisa termasuk dokter, lembaga SDM kami menyediakan konsep. Kalau ada kesempatan seorang dokter itu di training, dibina, itu bagus. Orang mengikuti pelatihan kan paling banyak 3 hari, itu pun sudah susah. Orang dengar ceramah, lalu terjadi perubahan, itu tidak masuk akal. Ini (perubahan mental) adalah akumulasi. Kesempatan terbesar membina mental dokter ada di fakultas kedokteran. Kalau mau dicari lagi ya, sejak SD, keluarganya.
Berdasarkan pengalaman kami, mentraining, tidak banyak dokter yang menjadi pesertanya.
Dokter kan jarang sekali dituntut oleh masyarakat atau pelanggannya untuk harus seperti ini. Dokter itu kan punya otoritas. Beda dengan manajer, salesmen. Orang bisnis kan saingannya banyak? Kalau tidak bagus, mereka akan beralih ke orang lain. Di dunia bisnis tidak ada otoritas. Mereka sangat mengandalkan pelayanan. Kalau pelayanan bagus, pelanggan akan betah. Dokter kan lain? Orang kalau sudah datang ke rumah sakit/dokter, otoritasnya mutlak. Apapun keputusan dokter, umumnya diterima pasien. Tidak ada yang berani mempertanyakan pendapat dokter. Tuntutan untuk menjadi profesional yang datang dari pelanggannya saya kira lemah. Itulah uniknya profesi dokter, memiliki otoritas. Karena itu keinginan menjadi profesional lahir dari etos/misi profesi kedokteran itu sendiri. Dan ini harus terus-menerus disegarkan.
Menuntut seorang dokter untuk sempurna? Saya tidak bisa menjawabnya. Sebab, menurut saya tuntutan menjadi sempurna itu kan datangnya dari Tuhan? Tapi soal menjadi profesional, baik secara inner maupun outer, dokter juga termasuk. Absolut itu. Baik itu hakim, jaksa. Karena pengembangan profesionalisme itu bukan demi profesi itu sendiri, melainkan demi kemanusiaan. Apakah kita mau menjadi manusia yang lebih baik, yang unggul, bermartabat, harus ke sana arahnya.
Keinginan untuk menjadi lebih baik itu sebetulnya ada. Tapi faktor-faktor kelemahan dan dosa menjadi penghalang bagi kita. Karena mau mengembangkan diri terus-menerus itu kerja berat. Membutuhkan disiplin, kesungguhan, penyangkalan diri. Tapi Tuhan menuntut kita untuk maju. Dan di lain pihak, tuntutan dari yang kita layani itu semakin meningkat. Misalnya, saya melihat sebuah RS di Jakarta yang sudah mencantumkan hak-hak pasien (berhak mendapatkan perlakukan tertentu dan informasi tertentu dari jajaran kesehatan). Sebelumnya tidak ada. Makin lama otoritas dokter itu akan ditantang orang. Dan tidak menutup kemungkinan otoritas itu akan seperti Kejaksaan yang sekarang ini ibarat sarang penyamun. Kejaksaan atau peradilan sekarang ini dilecehkan orang karena bukan lagi sebagai tempat untuk mencari keadilan. Saya kalau jadi Jaksa sekarang ini malu pakai seragam kejaksaan kalau sedang berada di tempat umum.
Perkembangan Profesionalisme Demi Kemanusiaan Oleh Jansen Sinamo (Sebagaimana disampaikan Jansen Sinamo kepada Erna Manurung dalam Majalah Samaritan Edisi 3 Tahun 1999