Salah satu topik penting dalam kehidupan gerejawi atau persekutuan adalah bagaimana seorang Kristen memahami panggilan hidupnya.

Sedemikian penting topik ini sehingga jutaan rupiah (melalui retret, seminar, kunjungan misi, dll) dikeluarkan untuk menyakinkan mahasiswa agar mereka mempergumulkan panggilan Allah. Memang benar bahwasanya setiap orang sebaiknya benar-benar mengerti arti panggilan, yaitu terutama agar hidup kekristenannya bermanfaat secara maksimal dan berbuah banyak. Bahkan ada buku yang membahas tentang hidup yang dikendalikan oleh tujuan hidup, yang artinya seorang Kristen perlu hidup sesuai panggilannya.

Walaupun banyak pembahasan mengenai panggilan Kristen, tetapi saya menduga bahwa sebagian besar mahasiswa atau alumni Kristen tidak sungguh-sungguh mengerti panggilan tersebut. Hal ini dapat ditelaah dengan mengamati berapa banyak mahasiswa Kristen yang kuliah di jurusan tertentu, tetapi setelah lulus ternyata bekerja di bidang yang berbeda. Misalnya, seorang lulusan teknik, setelah lulus ternyata bekerja di Bank. Ternyata, ketika seorang alumni ‘Perkantas’ harus diperhadapkan dengan urusan ‘perut’ maka ia lebih memilih kepastian pekerjaannya. Apa gunanya seorang mahasiswa selama bertahun-tahun mendoakan atau mempergumulkan pendidikannya tetapi di akhir karirnya ia malah berbelok ke pekerjaan lain, yang terkadang tidak berhubungan sama sekali.

Apakah sedemikian penting arti panggilan tersebut? Tentu bukan hal yang mudah bagi kita untuk menjawab pertanyaan ini. Mana yang lebih penting: mengenal panggilan hidup secara pasti atau menjalani hidup sesuai kehendak Tuhan?

Pertanyaan pertama akan sulit sekali dijawab oleh sebagian besar orang Kristen. Bahwasanya seorang Kristen mengerti kehendak Tuhan dan menjalankan panggilannya memanglah penting, tetapi saya menganggap bahwa bentuk panggilan ini juga merupakan proses waktu. Saya berasumsi bahwa hampir tidak ada orang Kristen yang 100% yakin akan panggilan Tuhan. Mungkin orang yang hampir 100% mengerti panggilannya adalah pendeta senior.

Saya sendiri merasa bahwa Tuhan tidak membuka langsung kehendakNya bagi saya. Ia membuka rahasia panggilanNya secara perlahan, sehingga mungkin sekali saya tidak mengetahui penggilanNya di awal pekerjaan. Saat pertama kali masuk fakultas kedokteran, yang terbayang adalah kehidupan dokter yang memiliki status social yang tinggi dan kekayaan. Tetapi sejalan dengan pertumbuhan rohani maka saya mendapati keinginan untuk bekerja di ladang misi semakin kuat, bahkan hampir masuk ke dalam kenaifan yaitu menjadi hamba Tuhan. Saya bilang naïf karena saat itu saya berpikir bahwa bentuk pelayanan tertinggi kepada Tuhan adalah menjadi hamba Tuhan penuh waktu. Profesi lain seperti dokter, guru, pegawai negeri, dll seakan-akan menjadi tidak penting.

Saat ini saya menyadari bahwa pekerjaan yang saya jalankan, sebagai dokter, merupakan pemenuhan panggilan Tuhan. Tentu hal ini merupakan pengalaman pribadi karena dalam banyak hal Tuhan menggiring kami ke tempat kami bekerja sekarang dengan banyak cara yang tidak terduga. Seakan-akan kami menjalani hidup atau mengambil keputusan bukan hanya merupakan hasil olah pikiran kami sendiri tetapi tampaknya Rohkudus bekerja secara tersembunyi. Rohkuduslah yang ‘mungkin’ menyusupkan ide pada pikiran dan hati kami (saya dan istri) sehingga kami akhirnya menyadari betapa kuatnya tarikan Allah dalam kami melangkah. Di sinilah mungkin Paulus menganggap dirinya adalah budak Allah, karena sesungguhnya kehendak pribadinya sudah ditawan oleh kehendak Allah sehingga seakan-akan apapun yang dilakukannya adalah merupakan cermin kemauan Allah.

Oleh karena itu sekarang saya memahami bahwa panggilan Allah itu bukanlah sesuatu hal yang tegas atau pasti. Kalau suatu saat kita merasa dipanggil Tuhan untuk pekerjaan tertentu atau pelayanan tertentu maka ‘panggilan’ tersebut belum tentu merupakan panggilan utama dalam hidup kita. Hal ini penting sekali karena mungkin ada orang Kristen yang setiap kali bertindak maka ia selalu mengharapkan kepastian dari Allah. Berapa banyak energi atau waktu yang terbuang hanya untuk ‘mencari’ kehendak Allah. Misalnya, ada seorang Kristen yang diminta melayani paduan suara gereja. Sebenarnya saat ia diminta ia dapat memprediksi apakah ia memang sanggup menjalaninya atau tidak. Tidak terlalu perlu baginya untuk mempergumulkannya secara bertele-tele. Keputusan menjadi anggota paduan suara itu dapat dibuat dengan mempertimbangkan talentanya, waktu, kecocokan dengan pelatih, dll. Sungguh konyol rasanya bila seorang menolak menjadi anggota paduan suara karena ia merasa Tuhan tidak memanggilnya.

Karena saya mengalami kesulitan dalam memahami apa sebenarnya panggilan Allah maka sebaiknya kita berpindah pada masalah yang lebih praktis, yaitu hidup sesuai panggilan kita sebagai Kristen. Hal-hal yang perlu dilakukan oleh setiap Kristen agar ia mengerti di kemudian hari bahwa Tuhan memang memanggilnya di bidang pekerjaannya adalah:
1. menjaga hati nurani supaya tetap bersih.
2. prioritas pekerjaannya: kepentingan Tuhan / umat Tuhan dulu, baru kepentingan saya
3. menjalankan profesinya saat ini dengan kualitas tertinggi.
4. membuka diri terhadap kemungkinan perubahan yang diminta Tuhan, dengan memperhatikan ketiga hal di atas.

Di dunia pekerjaan yang semakin kompetitif saat ini, bukan hal yang mudah jikalau kita mencoba menjalankan nilai-nilai kekristenan. Hati nurani merupakan cermin kedekatan kita dengan Tuhan. Orang Kristen bisa saja merasa dirinya rohani bila ia sudah menjalankan kewajiban ibadahnya, misalnya persepuluhan, persekutuan, doa, membaca Alkitab tiap hari, atau bahkan menjadi donatur Perkantas. Tetapi orang akan menilai kerohaniannya dari perbuatan atau pikirannya. Tidak heran saya mendengar ada seorang dokter yang aktif di persekutuan tetapi dari mulutnya sering keluar caci maki. Sewaktu saya bekerja di puskesmas, saya menjaga hati nurani dengan tidak mau memakai dana puskesmas secara sembarangan. Walaupun saya tidak punya uang cukup tetapi saya tidak memanfaatkan dana tsb untuk kepentingan pribadi. Siapa yang memantau saya saat itu? Secara manusiawi tidak ada, tetapi saya yakin bahwa Tuhan memantau saya.

Saya berharap semua mahasiswa atau alumni Kristen belajar menjaga hati nuraninya dari banyak godaan dunia. Kadang-kadang kita merasa bahwa perbuatan kita itu juga biasa dilakukan oleh sejawat lain sehingga tanpa atau dengan sadar kita mematikan hati nurani.

Hal kedua adalah suatu pergumulan yang lebih berat, yaitu mendahulukan kepentingan Tuhan atau umat Tuhan dibandingkan kepentingan pribadi. Di sinilah letak kematangan rohani seorang Kristen, yaitu bahwasanya ia dapat melihat dengan mata hatinya mengenai prospek hidupnya bila ia taat pada Tuhan atau mementingkan dirinya sendiri. Contoh yang paling indah di Alkitab adalah ketika Abraham memberi kesempatan kepada Lot untuk memilih daerah gembalaannya. Abraham yakin bahwa pilihan Tuhan lebih baik dibandingkan hawa nafsunya, walaupun untuk itu ia harus menjalani kehidupan di padang gurun yang gersang. Berapa banyak alumni Kristen yang kehilangan visinya karena ia hanya melihat kepentingannya sesaat, tanpa mau berjuang untuk lebih mendekatkan diri pada panggilan Tuhan. Akibatnya, banyak alumni Kristen yang tidak bekerja sesuai profesinya. Seorang guru Kristen lulusan IKIP Jakarta mungkin akan lebih memilih bekerja sebagai karyawan bank daripada mengabdikan diri ke daerah untuk mengajar. Mengapa? Karena secara praktis ia dapat memperoleh uang lebih banyak. Hawa nafsu mendapat uang atau kedudukan secara mudah inilah yang membuat banyak orang Kristen tidak lagi hidup dalam panggilannya. Ia hanya membuang waktu untuk melakukan pekerjaan yang kurang berharga.

Hal ketiga adalah menjalankan pekerjaannya dengan kualitas tertinggi. Tuhan Yesus berkata bahwa kita diminta memberikan jubah jika ada orang yang minta baju (Mat 5: 38-42). Di dalam pekerjaan pun kita sebaiknya memberikan dedikasi tertinggi bahkan lebih dari standar profesi kita. Seorang pemulung yang berhasil menjadi raja pemulung adalah pemulung yang bekerja luar biasa. Pemulung yang hanya meratapi nasibnya akan hidup terus sebagai pemulung biasa, tetapi pemulung yang memperjuangkan hidupnya maka ia akan mendapatkannya. Banyak orang Kristen yang miskin jiwanya karena ia hanya merasa dirinya sebagai pecundang. Seorang alumni Kristen seharusnya bekerja dengan kemampuan di atas rata-rata, entah kepandaiannya, kemurahan hatinya, kesopanannya, atau karakternya yang menonjol.

Hal keempat adalah kesediaan membuka diri terhadap perubahan. Seperti yang saya jelaskan di awal bahwa sulit bagi kita untuk memastikan 100 % apakah saat ini kita benar-benar ada dalam ‘track’ Allah. Bisa saja sepuluh tahun yang lalu kita merasa mantap dengan panggilan Tuhan, tetapi untuk saat ini mungkin Allah berkehendak lain. Di mata Tuhan, mungkin masa sepuluh tahun itu merupakan masa pembelajaran kita untuk menyiapkan diri kita menerima panggilan Allah yang lebih mulia. Contoh di Alkitab adalah ketika bangsa Israel harus berputar-putar di gurun pasir selama 40 tahun. Jelas di sini Allah tidak mau terburu-buru menyelesaikan misiNya yaitu masuk ke Kanaan. Allah mau agar bangsa Israel lebih siap secara rohani sebelum benar-benar masuk dalam tanah perjanjianNya. Demikian juga dengan kita, sebaiknya kita juga membuka diri terhadap panggilan Allah.

Pada akhirnya, tidak ada seorang Kristen pun yang tahu pasti bahwa saat ini ia hidup sesuai panggilan Tuhan atau tidak. Bahkan Paulus pun tidak dapat meyakini 100 % panggilan Tuhan. Kita perlu hidup sepadanan dengan panggilan Tuhan bagi kita sebagai orang Kristen, dan mencoba melihat bagaimana Tuhan membuka mata hati kita akan panggilanNya secara perlahan-lahan. Saya percaya bahwa orang Kristen perlu meyakini panggilanNya dalam profesinya masing-masing sehingga kita dapat memaksimalkan talenta yang diberikan. Saya berharap pengenalan panggilan ini terus-menerus dipergumulkan sejak mahasiswa atau alumni baru, sehingga kita tidak berlama-lama membuang waktu untuk melakukan hal-hal yang sia-sia. Sayang sekali bila ada orang Kristen sampai usia 50 tahun masih tidak tahu panggilan Tuhan.


Panggilan Kristen
oleh dr. Dodi Hendradi dalam Majalah Samaritan Edisi 3 Tahun 2006.