Materialisme

Oleh drg. Daisy Novira

Pendahuluan

Era pasar bebas mempunyai pengaruh besar dalam setiap aspek kehidupan manusia. Kemajuan teknologi di segala bidang, sistem informasi bertambah cepat, ekspansi ekonomi, pergeseran nilai-nilai sosial dan budaya membawa perubahan-perubahan cepat yang menantang setiap orang untuk mengikutinyadan tanpa sadar maupun sadar telah terseret dalam arusnya yang kuat tanpa bisa melawannya.

Umat Kristen bukanlah orang-orang yang imun akan dampak negatif yang ditimbulkan dari hal-hal tersebut di atas. Kita ditempatkan dalam dunia yang berdosa dengan segala isinya seumur hidup kita dan dalam perjalanan hidup ini kita menghadapi situasi dunia dengan segala perubahannya. Hal yang sangat menantang dan menggiurkan adalah dalam hal materi/kebendaan sebagai ukuran prestise manusia dan ini juga merasuk ke dalam kehidupan orang-orang Kristen.

Dalam hal kebendaan, tidak sedikit kita menemukan orang-orang Kristen yang dalam kehidupan sehari-harinya tidak mencerminkan apa yang diimaninya, bahkan menjadi batu sandungan yang “mematikan” baik bagi non-Kristen maupun sesama Kristen.

Profesi medis sangat rentan terhadap materialisme. Hubungan dokter dan pasien seringkali tidak adil menempatkan pasien pada status tidak memiliki bargaining position. Di sinilah kesempatan untuk memasang tarif seenak-enaknya, karena tidak ada standar tarif yang dilegalisir. Peraturan atau Undang-Undang apalagi dengan perhitungan anak istri perlu “hidup”, untuk cicilan rumah, beli mobil, keperluan studi lanjut dan pertimbangan-pertimbangan “rasional” lainnya.

Berdosakah jika orang-orang Kristen (termasuk dokter dan dokter gigi) memiliki kekayaan yang dicerminkan dengan banyak uang dan memiliki benda-benda lux?

Materialisme: Apakah Itu?

Pada awal abad pertengahan ketika uang tidak begitu penting dan hanya memainkan sedikit peran dalam hidup manusia (baik pikiran dan perhatiannya), kapitalisme secara progresif “memerintah” seluruh kehidupan manusia baik individu maupun kelompok mengarah kepada uang.

Sulit untuk memisahkan materialisme dari kapitalisme dan konsumerisme, bahkan ada yang mengatakan bahwa pragmatisme adalah “materialisme kasar”. Uang menjadi alat ukur kesuksesan hidup manusia dan manusia semakin dirangsang untuk hidup konsumtif, menghalalkan segala cara dan memuaskan keinginannya dengan uang dengan alasan pertimbangan praktis. Dalam bahasa filsafat, “kebenaran” menurut pragmatisme adalah kesesuaian antara ide dan realitas. Kebenaran diukur menurut efeknya yang praktis bahkan kriterium kebenaran harus dicari harus dicari dalam seberapa jauh kita secara pribadi dan secara psikis merasa puas oleh adanya efek kebenaran itu. Sangat mengerikan jika ukuran kebenaran berdasarkan pada “kepuasan” yang dirasakan dan hal ini diterapkan oleh para materialist.

John White menuliskan bahwa materialisme menunjuk kepada pendekatan filosofis, yaitu suatu kepercayaan atau keyakinan bahwa hidup manusia terdiri dari terutama (semata-mata) apa yang terjadi sekarang dan kini dalam dunia materi/kebendaan. Menurut Oxford Dictionary of Current English, materialisme diuraikan sebagai berikut:

Tendency to prefer material possession and physical comfort to spiritual values; opinion that nothing exist but matter and its movements and modifications.

Berbicara tentang materialisme tidak lepas dari pembicaraan tentang uang. Uang sebagai alat tukar untuk membeli fasilitas-fasilitas materi lainnya, untuk keperluan hidup manusia, dan uang juga sering digunakan dalam transaksi bisnis. Uang itu sendiri bersifat netral, tetapi telah “salah tempat”. Manusia menjadikannya sebagai alat ukur keberhasilan hidup, gengsi, alat untuk menunjukan kuasa dan pengaruh. Segala sesuatu dapat dibeli dengan uang. Uang tidak lagi digunakan tapi dilayani oleh manusia. Manusia telah menjadi hamba uang. Di sinilah manusia jatuh menjadi money maniac.

We do not in fact building from a spirit of worship but for prestige and pride.

Di manapun kita berada, para dokter dan dokter gigi Kristen, kita menghadapi “realita” hidup dengan segala konflik yang ditimbulkannya. Realita bahwa setelah lulus dari FK/FKG kita harus hidup mandiri, lepas dari orang tua, apalagi bagi yang telah berkeluarga. Kemudian muncul pemikiran-pemikiran tentang “masa depan”: Bagaimana saya harus menghidupi diri sendiri, keluarga, pendidikan anak-anak, perumahan, kendaraan dan kebutuhan rumah tangga sehari-hari. Pikiran ini semakin berkecamuk ketika kita bertemu teman sebaya yang telah “sukses” dengan karier, rumah tangga, studi lanjut, dan sebagainya. Ketika yang lain sudah mengemudikan mobil merek “X” dengan gaji cukup untuk menghidupi anak cucu tujuh turunan, kita harus cukup puas dengan naik turun kendaraan umum dan gaji pas-pasan atau bahkan masih berjuang “mati-hidup” di daerah terpencil.

Uraian tersebut di atas bukan untuk mendramatisir, tetapi harus kita akui dengan jujur bahwa hal tersebut pernah terlintas di benak kita bukan?

Dari pemikiran-pemikiran tersebut kita mempunyai tolak melangkah untuk bagaimana memperoleh pekerjaan atau bekerja yang menghasilkan cukup uang untuk memenuhi kebutuhan hidup. Tanpa sadar, dari rasa “cukup” yang berkembang menjadi “tidak cukup”, kita kemudian dipacu untuk mendapatkan lebih dan lebih lagi. Bahkan dengan alasan “rohani”, yaitu supaya bisa memberikan perpuluhan lebih banyak.

Benarkah demikian? Kita hidup untuk bekerja atau bekerja untuk hidup?


Read more: Materialisme (Part 2-end)


Materialisme oleh drg. Daisy Novira
dalam Majalah Samaritan Edisi 1 Tahun 1997