Merokok sudah diketahui secara luas merupakan faktor risiko diabetes tipe 2, tetapi hasil studi yang dilakukan oleh tim peneliti Johns Hopkins menunjukan bahwa berhenti merokok bahkan sebaliknya dapat meningkatkan risiko diabetes dalam jangka pendek. Diduga bahwa peningkatan risiko diabetes ini disebabkan oleh kenaikan berat badan secara tipikal terjadi pada seseorang yan berhenti merokok, dan perlu diperingatkan bahwa hal ini tidak dapat dijadikan alasan agar seseorang dapat terus merokok. Karena merokok juga merupakan faktor risiko terhadap penyakit paru, penyakit jantung, stroke, dan berbagai jenis kanker.


Peningkatan rasio risiko sebesar 40% yang ditemukan dalam studi ini sebanding dengan hasil meta-analisis yang dilakukan baru-baru ini pada 25 studi kohort dengan pemantauan 5 – 30 tahun. Dilaporkan risiko relatif diabetes sebesar 1,44 pada kelompok perokok dibanding non-perokok dengan peningkatan intensitas paparan rokok adalah sebanding. Dalam meta-analisis, risiko diabetes lebih tinggi pada kelompok perokok berat (>20 batang/hari; risiko relatif 1,61), dibanding bukan perokok berat (risiko relatif 1,29), atau bekas perokok (risiko relatif 1,23) dibanding perokok yang melanjutkan kebiasaan merokok. Meskipun demikian, studi meta-analisis tidak meneliti pengaruh penghentian rokok.

Hsin-Chieh Yeh dkk. dari Johns Hopkins University School of Medicine menganjurkan agar seseorang yang merokok sebaiknya berhenti, karena itu merupakan hal yang terbaik. Tetapi dilain pihak, yang bersangkutan juga perlu memperhatikan berat badannya.

Para peneliti menemukan bahwa subyek yang berhenti merokok mengalami peningkatan risiko sebesar 70% untuk menderita diabetes tipe 2 dalam 6 tahun pertama tanpa rokok, dibanding individu yang tidak pernah merokok. Risiko ini paling tinggi pada 3 tahun pertama setelah berhenti merokok, dan kembali normal setelah 10 tahun. Di antara subyek yang terus merokok selama periode tersebut, risikonya lebih rendah, tetapi kemungkinan menderita diabetes 30% lebih tinggi dibanding subyek yang tidak pernah merokok.

Dalam studi ini pada tahun 1987 – 1989, diteliti 10.892 orang dewasa usia pertengahan yang tidak menderita diabetes. Pasien dipantau sampai 17 tahun dan data mengenai status diabetes yaitu kadar glukosa, berat badan, dan lainnya, dikumpulkan dengan interval waktu reguler.

Pada studi ini diperlihatkan bahwa individu yang merokok paling banyak dan juga mengalami kenaikan berat badan paling besar, mempunyai kecenderungan terbesar menderita diabetes setelah yang bersangkutan berhenti merokok. Rata-rata, setelah 3 tahun pertama studi, individu yang berhenti merokok mengalami kenaikan berat badan sebesar 3,6 kg dan lingkar pinggangnya bertambah sekitar 3,175 cm.

Para peneliti cukup terperanjat bahwa subyek yang terus merokok hanya mengalami kenaikan kecil risiko diabetes selama periode pemantauan, meskipun terdapat efek inflamasi akibat merokok. Penjelasan yang mungkin diberikan adalah bahwa nikotin dan metabolitnya, melalui reseptor asetilkotin nikotinik α-7, dapat menghasilkan efek anti-inflamasi. Efek seperti ini sudah pernah dilaporkan terjadi dengan sel-sel lekosit dan adiposit, baik secara in vitro maupun in vivo.

Para peneliti menyarankan agar dokter mengingat hasil studi ini jika mereka mendapat konsultasi dari pasien yang berhenti merokok, terutama perokok berat. Para dokter perlu menganjurkan dilakukan tindakan pencegahan berupa konseling gaya hidup, tatalaksana penurunan berat badan secara agresif, dan penggunaan terapi pengganti nikotin, yang tampaknya dapat menghambat kenaikan berat badan setelah seseorang berhenti merokok. Langkah lain adalah melakukan skrining glukosa darah yang lebih sering, guna memastikan deteksi diabetes secara dini.

(Annals of Internal Medicine 2010; 152: 10 – 17)

Disadur dari Medical Update, Juni 2010.